|
Lie Tjeng Tjoan (John Lie) |
LATAR BELAKANG
Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie
Nio. Ayahnya (Lie Kae Tae) pemilik perusahaan
pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai). Sebagaimana
yang diceritakan oleh Rita Tuwasey Lie, keponakan John Lie, menginjak usia 17
tahun, John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini,
sembari menjadi buruh pelabuhan, ia mengikuti kursus navigasi. Setelah itu John
Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij,
perusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr,
Iran, dan mendapatkan pendidikan militer.
Ketika Perang Dunia II berakhir dan
Indonesia merdeka, dia memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI.
Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa
Tengah, dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia
berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan
Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian dia memimpin
misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan
lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon,
Manila, dan New Delhi.
KARIER
ANGKATAN LAUT
Ø
Sebagai
penyelundup
Ia
lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk
diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu
masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa
karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda.
Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk
dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada
pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda,
juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal
yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat,
dinamakan the
Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disuntingKustiniyati
Mochtar (1992),
paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan".
Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan di Singapura ia
dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa
menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera,
dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang
kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap
tampaknya berasal dari Maluku,
mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan
perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the
Outlaw tanpa
insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru
pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati
Usman Effendi dan
komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa
kapal the
Outlaw adalah
milik Republik
Indonesia dan
diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port
Swettenham di Malaya untuk
mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata,
dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
AKHIR KARIER
MILITER
Pada
awal 1950 ketika ada di Bangkok,
ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh
KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa
berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku
Selatan) di Maluku lalu PRRI/ Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI
Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Menurut kesaksian Jenderal Besar AH Nasution pada 1988, prestasi
John Lie ”tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah ”panglima armada
(TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi Republik”, yakni dalam
operasi-operasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan,
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta.
KEHIDUPAN
PRIBADI DAN KEMATIAN
Kesibukannya
dalam perjuangan membuat beliau baru menikah pada usia 45 tahun, dengan Pdt. Margaretha
Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti
namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Terdapat beberapa buku dan
liputan mengenai John Lie, sebagai berikut:
1. “Guns—And Bibles—Are
Smuggled to Indonesia”, yang terbit pada 26 Oktober 1949, oleh Roy Rowan,
wartawan majalah Life.
2. "John Lie Penembus
Blokade Kapal-kapal Kerajaan Belanda" yang terbit pada 1988, oleh Solichin
Salam.
3. "Dari Pelayaran Niaga
ke Operasi Menembus Blokade Musuh Sebagaimana Pernah Diceritakannya Kepada
Wartawan" yang dimuat dalam buku "Memoar Pejuang Republik Indonesia
Seputar 'Zaman Singapura' 1945-1950" karya Kustiniyati Mochtar terbitan
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
4. "Memenuhi Panggilan
Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie" (2008), yang diterbitkan
Penerbit Ombak, Yogyakarta dan Yayasan Nabil, oleh M Nursam.
-Dari berbagai Sumber.-