A. PEMBENTUKAN BPUPKI
Pada tahun 1944 Saipan jatuh ke tangan Sekutu. Demikian halnya dengan pasukan Jepang di
Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan
Kepulauan Marshall,
dipukul mundur oleh pasukan Sekutu. Dengan demikian seluruh garis
pertahanan Jepang di Pasifik sudah hancur dan bayang-bayang kekalahan
Jepang mulai nampak. Selanjutnya Jepang mengalami serangan udara di kota
Ambon, Makasar, Menado dan Surabaya. Bahkan pasukan Sekutu telah
mendarat di daerah-daerah minyak seperti Tarakan dan Balikpapan.
Dalam situasi kritis tersebut, pada tanggal 1 maret 1945
Letnan Jendral Kumakici Harada, pimpinan pemerintah pendudukan Jepang di Jawa, mengumumkan pembentukan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai).
Pembentukan badan ini bertujuan untuk menyelidiki hal-hal penting
menyangkut pembentukan negara Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus
ini diumumkan pada tanggal 29 April 1945.
dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat diangkat sebagai ketua
(Kaico). Sedangkan yang duduk sebagai Ketua Muda
(Fuku Kaico) pertama dijabat oleh seorang Jepang,
Shucokan Cirebon yang bernama
Icibangase. R.P. Suroso diangkat sebagai Kepala Sekretariat dengan dibantu oleh
Toyohito Masuda dan
Mr. A.G. Pringgodigdo.
B. SIDANG-SIDANG BPUPKI
Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkan upacara peresmian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan bertempat di gedung
Cuo Sangi In,
Jalan Pejambon (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri), Jakarta.
Upacara peresmian itu dihadiri pula oleh dua pejabat Jepang, yaitu :
Jenderal Itagaki (Panglima Tentara Ketujuh yang bermarkas di Singapura dan
Letnan Jenderal Nagano (Panglima Tentara Keenambelas yang baru). Pada kesempatan itu dikibarkan bendera Jepang,
Hinomaru oleh
Mr. A.G. Pringgodigdo yang disusul dengan pengibaran bendera Sang Merah Putih oleh
Toyohiko Masuda. Peristiwa itu membangkitkan semangat para anggota dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Sidang BPUPKI
Persidangan BPUPKI untuk merumuskan Undang-undang Dasar diawali
dengan pembahasan mengenai persoalan “dasar” bagi Negara Indonesia
Merdeka. Untuk itulah pada kata pembukaannya, ketua BPUPKI,
dr. Radjiman Wediodiningrat
meminta pandangan para anggota mengenai dasar Negara Indonesia merdeka
tersebut. Tokoh yang pertama kali mendapatkan kesempatan untuk
mengutarakan rumusan Dasar Negara Indonesia Merdeka adalah
Mr. Muh. Yamin.
Pada hari pertama persidangan pertama tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin
mengemukakan lima “Azas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”
sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri Ke-Tuhanan;
4. Peri Kerakyatan;
5. Kesejahteraan Rakyat.
Dua hari kemudian pada tanggal 31 Mei 1945
Prof. Dr. Mr. Supomo mengajukan Dasar Negara Indonesia Merdeka adalah sebagai berikut :
1. persatuan
2. kekeluargaan
3. keseimbangan
4. musyawarah
5. keadilan sosial
Keesokan harinya pada tanggal 1 Juni 1945 berlangsunglah rapat terakhir dalam persidangan pertama itu. Pada kesempatan itulah
Ir. Sukarno
mengemukakan pidatonya yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya
Pancasila”. Keistimewaan pidato Ir. Sukarno adalah selain berisi
pandangan mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka, juga berisi usulan
mengenai nama bagi dasar negara, yaitu :
Pancasila,
Trisila, atau
Ekasila.
“Selanjutnya sidang memilih nama Pancasila sebagai nama dasar negara.
Lima dasar negara yang diusulkan oleh Ir. Sukarno adalah sebagai berikut
:
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial;
5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Persidangan pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang
tersebut belum menghasilkan keputusan akhir mengenai Dasar Negara
Indonesia Merdeka. Selanjutnya diadakan masa “reses” selama satu bulan
lebih.
Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang
beranggotakan 9 orang. Oleh karena itu panitia ini juga disebut sebagai
Panitia Sembilan. Anggota-anggota Panitia Sembilan ini adalah sebagai
berikut :
1. Ir. Sukarno
2. Drs. Moh. Hatta
3. Muh. Yamin
4. Mr. Ahmad Subardjo
5. Mr. A.A. Maramis
6. Abdulkadir Muzakkir
7. K.H. Wachid Hasyim
8. K.H. Agus Salim
9. Abikusno Tjokrosujoso.
Musyawarah dari Panitia Sembilan ini kemudian menghasilkan suatu
rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan Negara
Indonesia Merdeka. Oleh
Muh.Yamin rumusan itu diberi nama
Jakarta Charter atau
Piagam Jakarta. Rumusan draft dasar negara Indonesia Merdeka itu adalah :
1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana Undang-undang Dasar, termasuk soal pembukaan atau
preambule-nya oleh sebuah
Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh
Ir. Sukarno dan beranggotakan 21 orang. Pada tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi
preambule (pembukaan) yang diambil dari Piagam Jakarta.
Selanjutnya panitia tersebut membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai
Prof. Dr. Mr. Supomo dengan anggotanya
Mr. Wongsonegoro, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan
Sukiman. Hasil perumusan panitia kecil ini kemudian disempurnakan bahasanya oleh
Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari
Husein Djajadiningrat,
Agus Salim dan
Supomo.
Persidangan kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945 dalam
rangka menerima laporan Panitia Perancang Undang-undang Dasar. Ir.
Sukarno selaku ketua panitia melaporkan tiga hasil, yaitu :
1. Pernyataan Indonesia Merdeka;
2. Pembukaan Undang-undang Dasar;
3. Undang-undang Dasar (batang tubuh);
C. AKTIVITAS GOLONGAN MUDA
Angkatan Moeda Indonesia dan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia
Sebelum BPUPKI dibentuk di Bandung pada tanggal 16 Mei 1945 telah diadakan
Kongres Pemuda Seluruh Jawa yang diprakarsai
Angkatan Moeda Indonesia.
Organisasi itu sebenarnya dibentuk atas inisitaif Jepang pada
pertengahan 1944, akan tetapi kemudian berkembang menjadi suatu
pergerakan pemuda yang anti-Jepang. Kongres pemuda itu dihadiri oleh
lebih 100 utusan pemuda, pelajar dan mahasiswa seluruh Jawa diantaranya
Djamal Ali, Chairul Saleh, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto serta sejumlah mahasiswa
Ika Daigaku
Jakarta. Kongres menghimbau para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan
mempersiapkan diri untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan yang bukan
hadiah Jepang. Setelah tiga hari berlangsung kongres akhirnya memutuskan
dua buah resolusi, yaitu:
1. semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda dipersatukan dan dibulatkan dibawah satu pimpinan nasional.
2. dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Walaupun demikian kongres pun akhirnya menyatakan dukungan sepenuhnya
dan kerjasama erat dengan Jepang dalam usaha mencapai kemerdekaan.
Pernyataan tersebut tidak memuaskan beberapa tokoh pemuda yang hadir, seperti utusan dari Jakarta yang dipimpin oleh
Sukarni, Harsono Tjokroaminoto dan
Chairul Saleh.
Mereka bertekad untuk menyiapkan suatu gerakan pemuda yang lebih
radikal. Untuk itulah pada tanggal 3 Juni 1945 diadakan suatu pertemuan
rahasia di Jakarta untuk membentuk suatu panitia khusus yang diketuai
oleh
B.M. Diah, dengan anggotanya
Sukarni, Sudiro, Sjarif Thajeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chairul Saleh, P. Gultom, Supeno dan
Asmara Hadi.
Pertemuan semacam itu diadakan lagi pada tanggal 15 Juni 1945, yang menghasilkan pembentukan
Gerakan Angkatan Baroe Indonesia.
Dalam prakteknya kegiatan organisasi itu banyak dikendalikan oleh para
pemuda dari Asrama Menteng 31. Tujuan dari gerakan itu, seperti yang
tercantum di dalam surat kabar
Asia Raja pada pertengahan bulan Juni 1945, menunjukkan sifat gerakan yang lebih radikal sebagai berikut :
1. mencapai persatuan kompak di antara seluruh golongan masyarakat Indonesia;
2. menanamkan semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat;
3. membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan Jepang, tetapi jika
perlu gerakan itu bermaksud untuk mencapai kemerdekaan dengan
kekuatannya sendiri.
Gerakan Rakyat Baroe
Gerakan Rakyat Baroe dibentuk berdasarkan hasil sidang ke-
8 Cuo Sangi In
yang mengusulkan berdirinya suatu gerakan untuk mengobar-ngobarkan
semangat cinta kepada tanah air dan semangat perang. Pembentukan badan
ini diperkenankan oleh
Saiko Shikikan yang baru,
Letnan Jenderal Y. Nagano
pada tanggal 2 juli 1945. Susunan pengurus pusat organisasi ini terdiri
dari 80 orang. Anggotanya terdiri atas penduduk asli Indonesia dan
bangsa Jepang, golongan Cina, golongan Arab dan golongan peranakan
Eropa. Tokoh-tokoh pemuda radikal seperti
Chairul Saleh, Sukarni,
B.M. Diah, Asmara Hadi, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Sudiro, Supeno,
Adam Malik, S.K. Trimurti, Sutomo dan
Pandu Kartawiguna diikutsertakan dalam organisasi tersebut.
Tujuan pemerintah Jepang mengangkat wakil-wakil golongan muda di
dalam organisasi itu adalah agar pemerintah Jepang dapat mengawasi
kegiatan-kegiatan mereka.
Sumobuco Mayor Jenderal Nishimura menegaskan bahwa setiap pemuda yang tergabung di dalamnya harus tunduk sepenuhnya kepada
Gunseikanbu
(pemerintah militer Jepang) dan mereka harus bekerja dibawah pengawasan
pejabat-pejabat pemerintah. Dengan demikian berarti kebebasan bergerak
para pemuda dibatasi, sehingga timbullah rasa tidak puas. Oleh karena
itulah, tatkala
Gerakan Rakyat Baroe ini diresmikan pada
tanggal 28 Juli 1945, tidak seorang pun pemuda radikal yang bersedia
memduduki kursi yang telah disediakan. Sehingga nampak semakin tajam
perselisihan paham antara golongan tua dan golongan muda tentang cara
melaksanakan pembentukan negara Indonesia Merdeka.
D. PEMBENTUKAN PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI
(Dokuritsu Junbi Inkai).
Sebanyak 21 anggota PPKI yang terpilih tidak hanya terbatas pada
wakil-wakil dari Jawa yang berada di bawah pemerintahan Tentara
Keenambelas, tetapi juga dari berbagai pulau, yaitu : 12 wakil dari
Jawa, 3 wakil dari Sumatera, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari
Kalimantan, seorang dari Sunda Kecil (Nusatenggara), seorang dari Maluku
dan seorang lagi dari golongan penduduk Cina.
Ir. Sukarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan
Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketuanya. Sedangkan
Mr. Ahmad Subardjo ditunjuk sebagai penasehatnya.
Kepada para anggota PPKI,
Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto menegaskan bahwa para anggota PPKI tidak hanya dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara Keenambelas, akan tetapi oleh
Jenderal Besar Terauci sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi di seluruh Asia Tenggara.
Dalam rangka pengangkatan itulah, Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh Pergerakan Nasional, yaitu
Ir. Sukarno,
Drs. Moh. Hatta dan
dr. Radjiman Wediodiningrat.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 mereka berangkat menuju markas besar
Terauci di Dalat, Vietnam Selatan. Dalam pertemuan di Dalat pada
tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Besar Terauci menyampaikan kepada
ketiga tokoh itu bahwa Pemerintah Kemaharajaan telah memutuskan untuk
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan
segera setelah persiapannya selesai oleh PPKI. Wilayah Indonesia akan
meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Ketika ketiga tokoh itu berangkat kembali menuju Jakarta pada tanggal
14 Agustus 1945, Jepang telah dibom atom oleh Sekutu di kota Hirosima
dan Nagasaki. Bahkan Uni Soviet mengingkari janjinya dan menyatakan
perang terhadap Jepang seraya melakukan penyerbuan ke Manchuria. Dengan
demikian dapat diramalkan bahwa kekalahan Jepang akan segera terjadi.
Keesokan harinya, pada tanggal 15 Agustus 1945 Sukarno-Hatta tiba
kembali di tanah air. Dengan bangganya Ir. Sukarno berkata :
“Sewaktu-waktu kita dapat merdeka; soalnya hanya tergantung kepada saya
dan kemauan rakyat memperbarui tekadnya meneruskan perang suci
Dai Tao
ini. Kalau dahulu saya berkata ‘Sebelum jagung berbuah, Indonesia akan
merdeka : sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka, sebelum
jagung berbuah.” Perkataan itu menunjukkan bahwa Ir. Sukarno pada saat
itu belum mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
E. PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA GOLONGAN TUA DAN GOLONGAN MUDA
Berita tentang kekalahan Jepang, diketahui oleh sebagian golongan
muda melalui radio siaran luar negeri. Pada malam harinya Sutan syahrir
menyampaikan berita itu kepada Moh. Hatta. Syahrir juga menanyakan
mengenai kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan peristiwa tersebut.
Moh. Hatta berjanji akan menanyakan hal itu kepada
Gunseikanbu. Setelah yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Moh. Hatta mengambil keputusan untuk segera mengundang anggota PPKI.
Selanjutnya golongan muda mengadakan rapat di salah satu ruangan
Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta. Rapat
dilaksanakan pada tanggal 15 agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa. Rapat
yang dipimpin oleh
Chairul Saleh itu menghasilkan
keputusan “ kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia
sendiri, tak dapat digantungkan pada orang dan negara lain. Segala
ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus
diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakan perundingan dengan
golongan muda agar mereka diikutsertakan dalam pernyataan proklamasi.”
Keputusan rapat itu disampaikan oleh
Wikana dan
Darwis
pada pukul 22.30 waktu Jawa kepada Ir. Sukarno di rumahnya, Jl.
Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kedua utusan tersebut segera menyampaikan
keputusan golongan muda agar Ir. Sukarno segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu hadiah dari Jepang. Tuntutan Wikana
yang disertai ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika Ir.
Sukarno tidak menyatakan proklamasi keesokan harinya telah menimbulkan
ketegangan. Ir. Sukarno marah dan berkata “Ini leher saya, seretlah saya
ke pojok itu dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu
sampai besok. Saya tidak bisa melepaskan tanggungjawab saya sebagai
ketua PPKI. Karena itu saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”.
Ketegangan itu juga disaksikan oleh golongan tua lainnya seperti : Drs.
Moh. Hatta, dr. Buntaran, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa
Kusumasumantri.
Dalam diskusi antara Darwis dan Wikana, Moh. Hatta berkata, “Dan kami
pun tak dapat ditarik-tarik atau didesak supaya mesti juga mengumumkan
proklamasi itu. Kecuali jiak Saudara-saudara memang sudah siap dan
sanggup memproklamasikan. Cobalah! Saya pun ingin melihat kesanggupan
Saudara-saudara !” Utusan itu pun menjawab “Kalau begitu pendirian
Saudara-saudara berdua, baiklah ! Dan kami pemuda-pemuda tidak dapat
menanggung sesuatu, jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan.
Kami pemuda-pemuda akan bertindak dan menunjukkan kesanggupan yang
saudara kehendaki itu!”
F. PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Sekitar pukul 12.00 kedua utusan meninggalkan halaman rumah Ir.
Sukarno dengan diliputi perasaan kesal memikirkan sikap dan perkataan
sukarno-Hatta. Sesampainya mereka di tempat rapat, mereka melaporkan
semuanya. Menanggapi hal itu kembali golongan muda mengadakan rapat
dini hari tanggal 16 Agustus 1945 di asrama Baperpi, Jalan Cikini 71,
Jakarta. Selain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat
sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh
Sukarni, Jusuf Kunto, dr. Muwardi dari Barisan Pelopor dan
Shudanco Singgih dari
Daidan PETA Jakarta
Syu.
Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh.
Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala
pengaruh Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang,
Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.
Rencana ini berjalan lancar karena mendapatkan dukungan perlengkapan Tentara PETA dari
Cudanco Latief Hendraningrat yang pada saat itu sedang menggantikan
Daidanco Kasman Singodimedjo
yang sedang bertugas ke Bandung. Maka pada tanggal 16 Agustus 1945
pukul 04.30 waktu Jawa sekelompok pemuda membawa Ir. Sukarno dan Drs.
Moh. Hatta ke luar kota menuju
Rengasdengklok, sebuah
kota kawedanan di pantai utara Kabupaten Karawang. Alasan yang mereka
kemukakan ialah bahwa keadaan di kota sangat genting, sehingga keamanan
Sukarno-Hatta di dalam kota sangat dikhawatirkan. Tempat yang dituju
merupakan kedudukan sebuah
cudan (kompi) tentara PETA Rengasdengklok dengan komandannya
Cudanco Subeno.
Sehari penuh Sukarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Kewibawaan
yang besar dari kedua tokoh ini membuat para pemuda segan untuk
melakukan penekanan lebih jauh. Namun dalam suatu pembicaraan berdua
dengan Ir. Sukarno,
Shudanco Singgih beranggapan Sukarno
bersedia untuk menyatakan proklamasi segera setelah kembali ke Jakarta.
Oleh karena itulah Singgih pada tengah hari itu kembali ke Jakarta untuk
menyampaikan rencana proklamasi kepada kawan-kawannya.
Sementara itu di Jakarta para anggota PPKI yang diundang rapat pada
tanggal 16 agustus memenuhi undangannya dan berkumpul di gedung Pejambon
2. Akan tetapi rapat itu tidak dapat dihadiri oleh pengundangnya
Sukarno-Hatta yang sedang berada di Rengasdengklok. Oleh karena itu
mereka merasa heran. Satu-satu jalan untuk mengetahui mereka adalah
melalui Wikana salah satu utusan yang bersitegang dengan Sukarno-Hatta
malam harinya. Oleh karena itulah
Mr. Ahmad Subardjo mendekati
Wikana. Selanjutnya antara kedua tokoh golongan tua dan tokoh
golongan
muda itu tercapai kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus
dilaksanakan di Jakarta. Karena adanya kesepakatan itu, maka
Jusuf Kunto dari golongan muda bersedia mengantarkan Mr. Ahmad Subardjo bersama sekretarisnya,
Sudiro
(Mbah) ke Rengasdengklok. Rombongan ini tiba pada pukul 18.00 waktu
Jawa. Selanjutnya Ahmad Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa
bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada keesokan harinya
tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan adanya
jaminan itu, maka komandan kompi PETA Rengasdengklok,
Cudanco Subeno bersedia melepaskan Ir. Sukarno dan Drs. Moh Hatta kembali ke Jakarta.
G. PERUMUSAN TEKS PROKLAMASI
Rombongan tiba kembali di Jakarta pada pukul 23.30 waktu Jawa.
Setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing rombongan
kemudian menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1,
Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional). Hal itu juga disebabkan
Laksamana Tadashi Maeda
telah menyampaikan kepada Ahmad Subardjo (sebagai salah satu pekerja
di kantor Laksamana Maeda) bahwa ia menjamin keselamatan mereka selama
berada di rumahnya.
Sebelum mereka memulai merumuskan naskah proklamasi, terlebih dahulu Sukarno dan Hatta menemui
Somubuco (Kepala Pemerintahan Umum)
Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Mereka ditemani oleh
Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta
Miyoshi sebagai penterjemah. Pertemuan itu tidak mencapai kata sepakat.
Nishimura
menegaskan bahwa garis kebijakan Panglima Tentara Keenambelas di Jawa
adalah “dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berlaku ketentuan bahwa
tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi merubah
status quo
(status politik Indonesia). Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang
semata-mata sudah merupakan alat Sekutu dan diharuskan tunduk kepada
sekutu”. Berdasarkan garis kebijakan itu Nishimura melarang
Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka proklamasi
kemerdekaan.
Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi
membicarakan kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Akhirnya mereka
hanya mengharapkan pihak Jepang tidak menghalang-halangi pelaksanaan
proklamasi yang akan dilaksanakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Maka
mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Sebagai tuan rumah Maeda
mengundurkan diri ke lantai dua. Sedangkan di ruang makan, naskah
proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu :
Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan
Mr. Ahmad Subardjo. Peristiwa ini disaksikan oleh
Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama dengan tiga orang tokoh pemuda lainnya, yaitu :
Sukarni, Mbah Diro dan
B.M. Diah. Sementara itu tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun golongan tua menunggu di serambi muka.
Ir. Sukarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Drs.
Moh. Hatta dan Mr Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan.
Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran dari
Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari
Drs. Moh. Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan
(transfer of sovereignty). Sehingga naskah proklamasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-
2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja
Djakarta, 17 – 8 –‘05
Wakil-
2 bangsa Indonesia,
Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep naskah proklamasi selesai disusun.
Selanjutnya mereka menuju ke serambi muka menemui para hadirin yang
menunggu. Ir. Sukarno memulai membuka pertemuan dengan membacakan naskah
proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir. Sukarno meminta
kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku
wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta
dengan mengambil contoh naskah “
Declaration of Independence”
dari Amerika Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda.
Karena mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir
adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya
Sukarni, salah
satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar yang menandatangani naskah
proklamasi cukup Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah usulan Sukarni itu disetujui, maka Ir. Sukarno meminta kepada
Sajuti Melik
untuk mengetik naskah tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan disertai
perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang
terdapat pada naskah ketikan Sajuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti
“tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan
“Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga dilakukan dalam cara
menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17
boelan 8 tahoen ‘05”. Sehingga naskah proklamasi ketikan Sajuti Melik
itu, adalah sebagai berikut :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta
(tandatangan Sukarno)
(tandatangan Hatta)
Selanjutnya timbul persoalan dimanakah proklamasi akan
diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang
bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi
berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah
Proklamasi. Namun Ir. Sukarno menganggap lapangan Ikada adalah salah
satu lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan
pihak militer Jepang. Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar
upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 dan disetujui oleh para hadirin.
H. PELAKSANAAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945
Pada pukul 05.00 waktu Jawa tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin
Indonesia dari golongan tua dan golongan muda keluar dari rumah
Laksamana Maeda. Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah berhasil
merumuskan naskah proklamasi. Mereka telah sepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada pukul 10.30 waktu Jawa atau pukul
10.00 WIB sekarang. Sebelum pulang Bung Hatta berpesan kepada para
pemuda yang bekerja di kantor berita dan pers, utamanya B.M. Diah untuk
memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Pagi hari itu, rumah Ir. Sukarno dipadati oleh sejumlah massa pemuda
yang berbaris dengan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan
proklamasi,
dr. Muwardi (Kepala Keamanan Ir. Sukarno) meminta kepada
Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir. Sukarno. Sedangkan Wakil Walikota
Suwirjo memerintahkan kepada
Mr. Wilopo untuk mempersiapkan pengeras suara. Untuk itu
Mr. Wilopo dan
Nyonopranowo pergi ke rumah
Gunawan pemilik toko radio Satria di Jl. Salemba Tengah 24, untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara.
Sudiro yang pada waktu itu juga merangkap sebagai sekretaris Ir. Sukarno memerintahkan kepada
S. Suhud
(Komandan Pengawal Rumah Ir. Sukarno) untuk menyiapkan tiang bendera.
Suhud kemudian mencari sebatang bambu di belakang rumah. Bendera yang
akan dikibarkan sudah dipersiapkan oleh
Nyonya Fatmawati.
Menjelang pukul 10.30 para pemimpin bangsa Indonesia telah berdatangan ke Jalan Pegangsaan Timur. Diantara mereka nampak
Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, M. Tabrani, A.G. Pringgodigdo dan sebagainya. Adapun susunan acara yang telah dipersiapkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Pembacaan Proklamasi;
Kedua, Pengibaran Bendera Merah Putih;
Ketiga, Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.
Lima menit sebelum acara dimulai, Bung Hatta datang dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap,
Latief Hendraningrat
memberikan aba-aba kepada seluruh barisan pemuda dan mereka pun
kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna. Selanjutnya Latif
mempersilahkan kepada Ir. Sukarno dan Moh. Hatta. Dengan suara yang
mantap Bung Karno mengucapkan pidato pendahuluan singkat yang
dilanjutkan dengan pembacaan teks proklamasi.
Acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih.
S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan bantuan
Cudanco Latif Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa dikomando para hadirin spontan
menyanyikan Indonesia Raya. Acara selanjutnya adalah sambutan dari
Walikota
Suwirjo dan
dr. Muwardi.
Berita proklamasi yang sudah meluas di seluruh Jakarta disebarkan ke
seluruh Indonesia. Pagi hari itu juga, teks proklamsi telah sampai di
tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei,
Waidan B. Palenewen. Segera ia memerintahkan
F. Wuz
untuk menyiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz
menyiarkan berita itu, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan
marah-marah orang Jepang itu memerintahkan agar penyiaran berita itu
dihentikan. Tetapi Waidan memerintahkan kepada F. Wuz untuk terus
menyiarkannya. Bahkan berita itu kemudian diulang setiap setengah jam
sampai pukul 16.00 saat siaran radio itu berhenti. Akibatnya, pucuk
pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita itu.
Dan pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945 pemancar itu disegel dan
pegawainya dilarang masuk.
Walaupun demikian para tokoh pemuda tidak kehilangan akal. Mereka
membuat pemancar baru dengan bantuan beberapa orang tehnisi radio,
seperti :
Sukarman,
Sutamto,
Susilahardja dan
Suhandar.
Sedangkan alat-alat pemancar mereka ambil bagian-demi bagian dari
kantor betita Domei, kemudian dibawa ke Jalan Menteng 31. Maka
terciptalah pemancar baru di Jalan Menteng 31. Dari sinilah seterusnya
berita proklamasi disiarkan.
Selain lewat radio, berita proklamasi juga disiarkan lewat pers dan
surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya
tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia.