Ratusan lagu anak dan lagu kebangsaan diciptakannya selama tiga zaman.
105 tahun lalu, tepat pada 23 Maret 1908, salah satu pencipta lagu anak paling produktif di Indonesia, yang bernama
Ibu Soed,
dilahirkan. Ia terlahir dengan nama Saridjah Niung di Sukabumi, Jawa
Barat, bungsu dari duabelas bersaudara. Ayahnya bernama Mohamad Niung,
orang Bugis yang menetap di Jawa Barat dan bekerja sebagai pengawal
seorang pensiunan Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Pemerintahan Belanda (
Hoogerechtshof) bernama J.F. Kramer, yang berdarah Belanda-Jawa.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Saridjah diangkat oleh J.F. Kramer
dan diajari bernyanyi, membaca musik dan main biola. Menginjak usia
remaja, ia mendalami seni suara dan seni musik di
Hoogere Kweek School di Bandung untuk kemudian mengabdikan pengetahuannya sebagai pengajar kelas musik di berbagai
Holandsch-Inlandsche School
(HIS), sekolah menengah untuk anak-anak Indonesia. Hingga tahun 1941,
bahasa pengantar di HIS adalah bahasa Belanda. Menyaksikan wajah-wajah
murung kebanyakan anak Indonesia saat itu, hatinya pun tergerak untuk
menciptakan lagu-lagu anak yang membesarkan hati, ceria dan membangun
cinta pada Tanah Air — dalam Bahasa Indonesia. Ia mengharapkan
lagu-lagunya mampu mengilhami anak-anak Indonesia untuk menggunakan daya
khayal untuk lebih kreatif dan melihat sisi terang dari segala
sesuatunya.
Pada tahun 1926, Saridjah bergabung dengan organisasi Indonesia Muda
dan pernah membentuk kelompok “tonil” (pertunjukan drama musik) untuk
menggalang dana bagi pelajar Indonesia. Ia pun aktif dalam menghidupkan
program radio Indonesia sebagai pengasuh tetap siaran anak-anak tiga
zaman (1927-1962). Pada tahun 1927 itu juga, di usia 19, ia menikah
dengan R. Bintang Soedibjo, pemuda yang kelak terkenal sebagai seorang
pengusaha sukses. Dari nama suaminya inilah panggilan “Ibu Soed”
kemudian menjadi lebih digunakan sehari-hari katimbang nama lahirnya,
Saridjah.
Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa ketika Wage Rudolf Supratman
pertama kali memperdengarkan gubahannya “Indonesia Raya” di hadapan
peserta kongres Sumpah Pemuda di Gedung Pemuda pada 28 Oktober 1928,
adalah Saridjah yang memainkan biola pengiring. Karena kekentalannya
dengan pergerakan nasionalis, ia pernah menjadi warga yang dipantau oleh
pihak Belanda pada tahun 1945.
Bintang Kreativitas Indonesia yang Terlupakan
Sepanjang karirnya, Ibu Soed telah menciptakan sekitar 200 lagu anak
yang, ironisnya, tak banyak lagi didengar oleh anak-anak jaman sekarang.
Lagu-lagu Ibu Soed kebanyakan berdurasi pendek (kurang dari satu menit)
namun kehebatannya tidak pernah lekang waktu.
Sudah menjadi kenyataan bahwa anak Indonesia masa kini cenderung
menyukai dan hafal di luar kepada lagu-lagu cinta populer yang
sebenarnya ditunjukan ke pasar remaja atau orang dewasa. Itu semua
terjadi karena Indonesia saat ini sedang krisis lagu anak yang
berkepanjangan.
Dunia musik Indonesia sudah merindukan lagu anak yang baik seperti
lagu-lagu yang dulu dinyanyikan oleh anak-anak, lagu-lagu yang
belakangan baru diketahui sebagai buah karya Saridjah Niung Bintang
Soedibjo.
Lagu-lagu ciptaan Ibu Soed selalu mempunyai melodi yang sederhana
sehingga gampang dinyanyikan oleh anak-anak. Liriknya bertutur santun,
apa adanya dan mendidik namun tidak menggurui. Kehebatan penulisan lagu
Ibu Soed juga tidak hanya berkutat di lagu anak saja, beliau juga mahir
dalam menciptakan lagu-lagu dengan tema nasionalisme. Lagu-lagu seperti
“Tanah Airku”, “Berkibarlah Benderaku” atau “Indonesia Tumpah Darahku”
selalu sanggup menggugah hati walaupun kita seringkali menghujat betapa
bobroknya negeri ini.
Bagi generasi anak jaman sekarang mungkin lagu-lagu Ibu Soed
terdengar naif. Tetapi bagi jutaan orang yang pernah menjadi anak kecil
di Indonesia, yang tumbuh dengan lagu-lagu ciptaan Ibu Soed, akan selalu
menganggapnya sebagai pengalaman berharga yang tidak pernah dilupakan
seumur hidup.
Setelah suaminya tewas dalam kecelakaan pesawat di Singapura pada
tahun 1954, Ibu Soed menghabiskan sisa hidupnya bersama anak-anak dan
cucu-cucu sambil terus berkreasi. Pada tahun 1955, ia berkolaborasi
dengan ahli seni tari Nani Loebis Gondosapoetro, ahli tata musik R.A.J.
Soedjasmin untuk menggelar Operette Balet Kanak-kanak Sumi di Gedung
Kesenian Jakarta. Bukan hanya seni musik, seni batik pun ditekuninya
sepanjang hidupnya. Atas pengabdiannya yang tiada hentinya pada dunia
kreativitas Indonesia, Saridjah Bintang Soedibjo dianugerahi Satya
Lencana Kebudayaan oleh Pemerintah Indonesia dan diabadikan namanya di
Museum Rekor Indonesia.
Berikut ini adalah lima lagu anak abadi ciptaan Ibu Soed:
Pelangi
Lagu “Pelangi” mungkin adalah lagu pertama yang bisa saya nyanyikan
dengan lantang saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Lagu ini
memiliki pesan rohani yang baik mengenai keberadaan Tuhan berserta
kebesaranNya melalui syairnya yang berbunyi, “Pelukismu agung/ tiada
duanya/ Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.”
Balonku
“Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya. Merah, kuning, kelabu, merah
muda dan biru. Meletus balon hijau. Dorrr! ” Begitulah cuplikan syair
dari “Balonku” yang sangat terkenal itu. Walaupun lagu ini menampilkan
lirik yang sedikit absurd
(karena balon warna hijau yang meletus
tidak disebutkan di awal lagu), namun tidak membuat saya berhenti
mencintai lagu ini. Lagu ini mempunyai bagian interlude yang tidak
biasa, karena tiba-tiba lagu terhenti dan ada seruan yang mengagetkan.
Dan semua anak kecil yang mendengarnya akan selalu tertawa riang begitu
mendengar bagian tersebut.
Becak
Ibu Soed menciptakan lagu ini di tahun 1942, saat jalan-jalan di
Indonesia belum dipenuhi oleh mobil atau kendaraan bermotor dan di saat
Delman dan Becak masih menjadi kendaraan favorit untuk berpergian. Lagu
ini menampilkan kegembiraan menaiki kendaraan umum saat berkeliling
kota. Sebuah kenyataan yang sulit kita dapati lagi di jaman sekarang.
Hujan
Salah satu lagu bertema hujan yang paling baik yang pernah diciptakan
di dunia ini. Inspirasi lagu ini didapat Ibu Soed saat mendapati rumah
sewaannya yang terletak di jalan Kramat, Jakarta, bocor karena hujan
yang deras. Hanya Ibu Soed yang berhasil menerjemahkan bunyi hujan ke
dalam bentuk syair yang sederhana. “Tik-tik bunyi hujan di atas
genting..”
Tanah Airku
Salah satu lagu bertema nasionalisme yang paling bersahaja. Di lagu
ini, tidak ada kalimat-kalimat yang pretensius yang memperlihatkan
semangat kecintaan terhadap negeri ini. Namun lagu ini dapat membuat
saya kembali menyadari bahwa sejelek-jeleknya negeri ini, Indonesia
masih tetap rumah saya yang akan selalu saya cintai sepanjang masa. ::
sumber: madahbakti.glogspot/Dimas Ario+wikipedia+langitperempuan.com